Lembaran Rupiah Yang Indah

ISO 100, f/5.0, 1/2s. Penggunaan bukaan yang kecil bertujuan untuk meemperluas ruang tajam. Adapun saya menggunakan ISO yang rendah untuk meminimalisir adanya bintik hitam pada foto. Dengan pencahayaan yang minim dan tanpa tripod, penggunaan ISO yang rendah menyebabkan shutter speed menjadi lambat dan rawan blur

Lubang Gitar

ISO 100, f/2.8, 1s. ISO yang rendah membuat shutter speed menjadi lebih panjang sehingga akan rawan terhadap blur. Namun hal itu bukan lagi masalah karena saya menggunakan tripod untuk memotret foto ini

Maha benar Allah dan segala firman-Nya

ISO 800, f/5.6, 1/50s. Tanpa tripod, menggunakan shutter speed yang panjang tanpa mengalami blur adalah suatu hal yang hampir mustahil. Maka dari itu saya menggunakan ISO yang tinggi untuk mempercepat shutter speed. Blur akibat getaran pun dapat dicegah

Indahnya bunga eksotis di waktu malam

ISO 100, f/5.6, 1/60s. Karena saya menggunakan titik fokus terpanjang 55mm, setidaknya saya harus menggunakan shutter speed 1/60s untuk mencegah adanya blur. Dipadu dengan flash, latar belakang menjadi gelap dan objek yang saya foto menjadi lebih terisolasi

Bola badminton berserakan di tepi ruangan

ISO 100, f/5.6, 1/25s. Dengan menggunakan titik fokus terpanjang 55mm dan dipadukan dengan bukaan terbesar f/5.6, lensa kit yang saya gunakan cukup mampu untuk menghasilkan bokeh yang memuaskan

Sunday, November 13, 2011

Memilih Shooting Mode Yang Tepat

Shooting Mode adalah apa saja dan bagaimana kamera mengintepretasikan dan mengkalkulasi pencahayaan untuk mendapatkan exposure yang sesuai. Di masa yang modern ini, bahkan kamera saku pun sudah dilengkapi dengan fitur pemilihan shooting mode ini. Pada umumnya, shooting mode tersusun atas:

Mode Full Auto
Mode ini sangat mudah digunakan. Kita tidak perlu merubah setelan apa-apa, kamera melakukan semuanya untuk kita. Pada kondisi cahaya yang minim, secara otomatis kamera akan menembakkan flash. Mode ini jarang menghasilkan hasil foto yang buruk, jarang pula menghasilkan hasil foto yang memikat. Hindari pemakaian mode ini apabila anda mampu untuk menggunakan mode lainnya.

Mode P (Program)
Kamera menentukan setelan aperture dan shutter speed yang tepat. Selanjutnya anda dapat memilih kombinasi aperture dan shutter speed sesuai dengan prinsip reciprocity.

Mode Tv (Time Value)
Apabila hendak memotret pada ajang olahraga dimana shutter speed berperan sangan penting untuk membekukan gerakan, mode ini adalah solusinya. Kita hanya perlu merubah shutter speed dan ISO sementara kamera memberikan aperture yang sesuai untuk kita. Terkadang aperture yang besar belum tentu mampu membuat hasil foto yang cukup terang, maka dari itu gunakanlah ISO yang tinggi bila perlu.

Mode Av (Aperture Value)
Apabila hendak memotret benda diam dimana shutter speed tidak berperan signifikan terhadap hasil foto, mode ini adalah pilihan yang tepat. Kita yang menentukan aperturenya sementara kamera akan menentukan shutter speed yang sesuai untuk mendapatkan exposure yang tepat. Gunakanlah ISO yang tinggi apabila memotret dengan mode ini pada pencahayaan yang gelap. Karena bila tidak, secara otomatis kamera akan melambatkan shutter speed dan akan mengakibatkan adanya goyangan atau blur pada hasil foto.

Mode M (Manual)
Mode manual adalah pilihan terakhir jikalau mode lainnya tidak dapat menghasilkan gambar yang sesuai keinginan. Mode ini juga cocok untuk kondisi pemotretan yang cenderung menipu kalkulasi pencahayaan kamera, misalnya dalam konser dengan pencahayaan labil yang dapat membuat panggung seketika terang benderang kemudian seketika gelap gulita. Mode ini juga cocok digunakan untuk pemotretan studio dimana pencahayaannya tetap. Selain pada kondisi tersebut, saya tidak merekomendasikan penggunaan mode ini. Untuk pemakaian sehari-hari, mode ini terlalu ribet dan agak sulit untuk diganti setelannya sewaktu-waktu.

Thursday, November 10, 2011

Ulasan Mengenai Prinsip Reciprocity

Banyaknya cahaya yang masuk menuju sensor kamera sebanding dengan besarnya bukaan diafragma dikali dengan lamanya shutter terbuka. Atau dapat ditulis:

Exposure = intensitas x durasi

Exposure merupakan pencahayaan akhir pada hasil foto. Hasil foto yang terlalu terang disebut over-exposure sedangkan hasil foto yang terlalu gelap disebut under-exposure. Intensitas cahaya dapat diatur dengan mengubah aperture. Durasi adalah lamanya shutter terbuka, dapat diatur dengan mengubah setelan shutter speed. Ingatlah selalu bahwa memperbesar nilai aperture dilakukan dengan mengecilkan angka f/number yang tertera pada kamera. Perubahan nilai aperture tidak bisa mengabaikan nilai shutter speed dan sebaliknya. Artinya untuk mendapat exposure yang tepat, baik aperture maupun shutter speed memegang peranan yang sama.

Reciprocity adalah bagaimana setelan aperture dan shutter speed harus saling berlawanan untuk meniadakan pengaruhnya. Jadi bila kita mengekspos sensor dengan waktu yang lebih lama, maka di sisi yang lain kita harus mengecilkan aperture untuk mengurangi cahaya yang masuk sehingga bisa mendapat exposure yang sama. Prinsipnya, sebuah exposure konstan bisa didapat dari berbagai variasi nilai aperture dan shutter speed, selama mempertahankan konsep reciprocity ini.


Hasil foto diatas menunjukkan exposure konstan yang sama satu sama lain. Yang berbeda hanyalah kombinasi nilai aperture dan shutter speednya saja. Pada gambar pertama dengan aperture f/2.0, kamera membutuhkan shutter speed sebesar 1/45s untuk mendapatkan exposure yang tepat. Pada saat aperture dikecilkan tiga stop menjadi f/5.6, kamera membutuhkan shutter speed sebesar tiga stop lebih lambat pula, yaitu 1/6s. Lagi-lagi pada saat aperture dikecilkan tiga stop, kamera secara automatis merubah shutter speed sebesar tiga stop juga sebagai respon terhadap pengecilan aperture.

Esensi utama dari prinsip reciprocity ini adalah bahwa kita dapat mengkombinasikan nilai aperture dan shutter speed secara seimbang untuk menyempurnakan exposure, bergantung pada kondisi dan situasi yang kita hadapi. Misalnya kita ingin mendapatkan exposure yang tepat dan dengan ruang tajam yang luas, maka kita akan menggunakan setelan f/16 - 1.5s. Apabila kita ingin menggunakan shutter speed cepat untuk membekukan gerakan, maka kita akan menggunakan f/2.0 - 1/45s.

Monday, November 7, 2011

White Balance dan Pilihannya

Cara mata manusia untuk mempersepsikan cahaya berbeda dengan cara kamera melakukannya. Mata manusia pada umumnya melihat cahaya matahari dan cahaya api lilin serta cahaya dari langit sebagai satu warna, yaitu putih. Hal ini terjadi karena mata manusia dapat menyeimbangkan nilai warna merah, hijau, dan biru untuk menghasilkan warna putih yang netral dengan sendirinya, bahkan tanpa kita sadari. Namun tidak demikian dengan kamera yang membutuhkan bantuan untuk menyeimbangkan ketiga warna tersebut. Penyeimbangan warna merah, hijau, dan biru untuk menghasilkan warna putih yang netral disebut dengan White Balance. White balance merupakan kunci utama untuk menghasilkan warna yang memikat dan menarik.

Apabila kita menganggap cahaya dari matahari sebagai acuan warna putih, maka cahaya lampu bohlam akan terlihat jingga, dan cahaya lilin akan terlihat merah. Sedangkan cahaya dari langit berawan tanpa matahari akan terlihat biru, dan cahaya pada bayangan akan terlihat lebih biru lagi. Perbedaan dalam rona warna pada sumber cahaya ini disebut suhu warna (color temperature) dan dinyatakan dengan satuan fisika bilangan derajat Kelvin. Sumber cahaya yang memiliki suhu warna rendah akan menghasilkan warna kemerahan yang hangat, misalnya lampu bohlam dan lilin. Sedangkan sumber cahaya yang memiliki sumber cahaya yang tinggi akan menghasilkan warna kebiruan yang dingin, misalnya langit biru yang berawan.

Lampu bohlam dan api lilin menghasilkan hasil foto dengan warna putih yang kemerahan. Di sisi lain, langit berawan dan cahaya bayangan menghasilkan warna putih yang kebiruan. Pengaturan white balance berguna untuk menyeragamkan warna putih dalam segala kondisi. Sehingga kertas yang berwarna putih akan tetap berwarna putih saat dipotret dibawah sinar matahari, lampu bohlam, atau langit berawan. Jika warna putih sudah sesuai aslinya, maka warna warna lain pun akan demikian. Sumber cahaya yang berbeda membutuhkan setelan yang berbeda pula untuk menghasilkan hasil foto yang bagus. Berikut merupakan pilihan setelan white balance yang biasa ditemukan pada kamera :

Auto
Pada mode ini kamera menentukan setelan white balance sesuai keadaan secara otomatis. Pada umumnya mode ini sudah dapat menghasilkan hasil foto yang lumayan bagus. Namun seringkali kamera tidak menerjemahkan kondisi pemotretan dengan baik sehingga kita perlu berpindah ke lain mode. Hasil foto dengan mode ini masih terlihat kebiruan pada bayangan, dan terlihat kemerahan pada cahaya lampu bohlam.

Daylight
Masih terlihat biru meskipun pada mode ini kamera menambahkan warna yang hangat. Hasil foto dengan mode ini akan terlihat normal pada pemotretan dibawah sinar matahari langsung. Tapi terkadang hasil foto dengan mode ini juga terlihat masih dingin pada pemotretan outdoor siang hari. Apabila demikian, gunakanlah mode Cloudy.

Cluody
Sedikit lebih hangat daripada mode Daylight. Mode ini ditujukan untuk pemotretan dibawah langit yang berawan. Namun pada kenyataannya mode ini menghasilkan warna yang baik untuk hampir segala kondisi pencahayaan outdoor.

Shade
Menghasilkan warna yang sangat hangat. Pada umumnya digunakan saat pemotretan dibawah bayangan. Juga digunakan saat berada dibawah langit yang mendung. Bisa juga digunakan pada pemotretan outdoor siang hari untuk menghasilkan warna yang memikat.

Tungsten
Menghasilkan warna yang sangat dingin dan kebiruan. Hasil foto dengan mode ini pada pemotretan outdoor akan terlihat sangat dingin dan tidak menarik. Di sisi lain, pemotretan dibawah cahaya lampu bohlam akan terlihat normal dengan setelan mode ini.

Flourescent
Gunakan mode ini apabila dengan mode lain hasil foto terlihat hijau. Juga pada pemotretan dibawah sinar lampu neon. Pada kondisi lainnya mode ini membuat hasil foto menjadi agak keunguan.

Flash
Hampir menyerupai mode Cloudy, namun lebih merah dan cenderung lebih hangat. Gunakan mode ini saat menggunakan flash.

Saturday, November 5, 2011

Shutter Speed dan Pengaruhnya

Shutter speed adalah durasi atau lamanya rana (shutter) membuka untuk memasukkan cahaya dari lensa menuju ke sensor. Shutter speed biasa dinyatakan dengan satuan detik atau sepersekian detik. Kebanyakan kamera modern memiliki shutter speed maksimal sebesar 30 detik sementara kecepatan minimalnya berkisar antara 1/4000 hingga 1/8000 detik. Deret shutter speed antara satu detik hingga 1/1000 detik ialah sebagai berikut :
1, 1/2, 1/4, 1/8, 1/15, 1/30, 1/60, 1/125, 1/250, 1/500, 1/1000

Shutter dengan kecepatan 1/2 detik dapat mengumpulkan cahaya dua kali lebih besar daripada shutter dengan kecepatan 1/4 detik. Begitu juga sebaliknya dan seterusnya. Sehingga apabila anda berada diruangan yang gelap dan menggunakan shutter speed yang cepat, kemungkinan besar anda hanya akan mendapati hasil foto yang gelap gulita atau under-exposure. Sedangkan apabila anda berada diluar ruangan pada siang hari dengan menggunakan shutter speed yang lambat, maka hasil foto kemungkinan besar akan mengalami over-exposure. Maka dari itu untuk menghasilkan hasil foto dengan pencahayaan yang optimal, dibutuhkan suatu keseimbangan antara shutter speed, ISO, dan aperture.

Lamanya shutter yang membuka dan menutup memiliki pengaruh langsung terhadap efek gerakan pada hasil foto. Semakin cepat shutternya, semakin beku objek dibuatnya. Misalnya anda sedang berada di pertandingan balap karung sebagai fotografer. Salah satu peserta dapat melompat-lompat menggunakan karung dengan dengan kecepatan 2 meter per detik. Bila anda menggunakan shutter speed sebesar 1 detik, maka yang ada di hasil foto anda hanyalah bayangan efek gerakannya saja, sedangkan sang pembalap karung sudah entah melompat sampai mana. Nah apabila anda mengubah setelan shutter speed dan mengaturnya sebesar 1/8000 detik, maka sang pembalap tadi hanya akan bergerak sejauh 0,00025 meter pada hasil foto anda. Sehingga sang pembalap tadi seolah terbekukan dan tak bergerak sama sekali. Tentunya untuk mendapatkan shutter speed secepat itu, anda membutuhkan kondisi cahaya yang berlimpah, aperture yang besar, dan ISO yang tinggi.

Animasi diatas menunjukan mekanisme terbukanya shutter pada kamera. Pertama, tirai belakang dari shutter terbuka. Selanjutnya tirai depan terbuka, pada saat inilah cahaya dapat menembus lensa menuju sensor. Lalu tirai belakang akan tertutup kembali, durasi antara terbuka dan tertutupnya tirai pada shutter disebut shutter speed. Adanya dua tirai dalam shutter berguna untuk mempercepat shutter. Karena satu tirai tidak dapat membuka dan menutup dengan sangat cepat, maka dibuatlah tirai lain.

Sumber animasi : Digital Photography School

Thursday, November 3, 2011

Aperture dan Pengaruhnya

Seperti apa yang telah saya sampaikan pada Ulasan Mengenai Aperture, yang dimaksud dengan aperture adalah besaran yang menyatakan seberapa lebar diafragma pada lensa terbuka. Selanjutnya, apa pengaruh dari terbukanya diafragma pada lensa?

1. Pencahayaan (Exposure)
Semakin lebar diafragma pada lensa terbuka, semakin besar pula cahaya yang masuk. Untuk shutter speed dan ISO yang tetap, melebarkan atau menyempitkan bukaan diafragma berpengaruh langsung pada pencahayaan gambar. Yang dimaksud dengan pencahayaan pada kali ini adalah terang atau gelapnya hasil foto. Semakin lebar diafragma terbuka, semakin terang hasil foto yang dihasilkan, begitu juga kebalikannya. Maka dari itu untuk menghasilkan pencahayaan yang pas, pengaturan aperture yang sesuai mutlak dibutuhkan.


2. Ruang tajam (Depth of Field)
Ruang tajam adalah daerah ketajaman yang terlihat pada hasil foto. Semakin besar bukaan diafragma, semakin sempit ruang tajam yang dihasilkan. Sempitnya ruang tajam berguna untuk mengisolasi objek yang terfokus dengan objek yang tidak terfokus (background dan foreground). Dan sebaliknya, semakin kecil bukaan diafragma, semakin luas ruang tajam yang dihasilkan.


3. Ketajaman (Sharpness)
Walau hanya sedikit, aperture juga berpengaruh terhadap ketajaman hasil foto. Biasanya hal ini terjadi lantaran lensa yang bersangkutan tidak bisa memberikan ketajaman optimal pada aperture maksimal. Terlebih apabila lensa yang bersangkutan merupakan lensa thirdparty yang berkualitas rendah. Hal tersebut bisa diatasi dengan mengecilkan bukaan diafragma sebesar dua stop - tiga stop. Misalnya, lensa dengan aperture maksimal f/1.8 akan menunjukan ketajaman optimal pada f/3.5 - f/4.5.

Wednesday, November 2, 2011

Ulasan Mengenai Aperture

Terjemahan umum dari aperture adalah bukaan diafragma. Namun karena kata "aperture" lebih banyak beredar di panduan maupun pedoman fotografi domestik maupun mancanegara daripada kata "bukaan diafragma", maka dengan ini penulis menyatakan untuk menggunakan kata "aperture" ketimbang "bukaan diafragma" untuk ulasan lebih lanjut.

Aperture adalah suatu besaran fotografi nonbaku yang menyatakan seberapa lebar terbukanya diafragma pada lensa. Semakin lebar diafragma terbuka, maka semakin besar pula cahaya yang masuk melalui lensa per satuan waktu. Gambar disamping merupakan mekanisme terbuka dan tertutupnya diafragma pada lensa.

Satuan besaran untuk aperture dilambangkan dengan prefix f/, misalnya f/4.0, f/5.6, f/8.0, dan lain lain. Tapi, angka aperture yang besar justru menyatakan kecilnya diafragma yang terbuka pada lensa. Artinya, lensa dengan f/4.0 akan membuka diafragma lebih lebar daripada lensa dengan f/5.6. Hal itu dikarenakan bilangan angka aperture yang sesungguhnya adalah sebuah pecahan, jadi f/5.6 secara kasar dapat disamakan dengan 1/5.6 dan f/4.0 juga secara kasar dapat disamakan (lebih tepatnya diibaratkan) sebagai 1/4.0. Tentunya bilangan pecahan 1/4.0 akan lebih besar dari 1/5.6 bukan? Apabila kita mengecilkan angka aperture (angka aperture, bukan diafragmanya) sebesar satu stop (satu tingkat), maka kemampuan mengumpulkan cahaya dari lensa bersangkutan akan bertambah dua kali lipatnya. Misalnya, lensa dengan f/4.0 memiliki kemampuan mengumpulkan cahaya dua kali lipat lebih besar dibanding lensa dengan f/5.6. Dan sebaliknya lensa dengan f/11 memiliki kemampuan mengumpulkan cahaya dua kali lipat lebih kecil dari pada lensa dengan f/8.0.


Lalu, dari mana angka-angka aperture itu berasal?
Angka aperture (f/1.0, f/2.8, f/4.0 dst...) adalah hasil dari perbandingan antara panjang fokus lensa (18mm, 55mm, dll) dengan diameter diafragma lensa (bukan diameter dudukan filter) dalam unit satuan milimeter. Misalnya, lensa 55mm f/5.6 memiliki diameter lensa sebagai berikut:

55 : 5.6 = 9.8mm

Jadi, lensa dengan panjang fokus 55mm dan diameter diafragma 9.8mm akan memiliki aperture senilai f/5.6.

Tuesday, November 1, 2011

ISO dan Pengaruhnya

ISO merupakan besaran yang menyatakan sensitivitas sensor pada kamera anda. Sedangkan ISO merupakan kependekan dari International Standard Organization. Sekilas memang kepanjangan dari ISO tidak memiliki kaitan dengan fotografi sama sekali. Lantas mengapa ISO yang namanya tidak berkaitan dengan fotografi dapat dijadikan besaran fotografi? Hal ini dikarenakan besaran sensitivitas sensor pada kamera memiliki standard baku yang berlaku secara international. Standard tersebut dikeluarkan, dikelola, dan diawasi oleh organization yang merupakan sebuah instansi yang bermarkas di Swiss. Adapun penjabaran lebih lanjut mengenai instansi ISO dapat anda telusuri di wikipedia.

Sensor pada kamera tersusun atas jutaan pixel yang sensitif terhadap cahaya. Semakin tinggi ISO, maka semakin tinggi pula sensitivitas pada sensor yang bersangkutan. Semakin sensitif sensor, semakin banyak cahaya yang diserap oleh sensor per satuan waktu tertentu. Sehingga semakin sensitif suatu sensor, semakin singkat durasi shutter speed untuk mengumpulkan cahaya. Kamera merubah sensitivitas sensor dengan cara memperkuat atau memperlemah sinyal listrik dari sensor yang bersangkutan.

Biasanya, kamera DSLR menggunakan ISO 100 untuk yang terendah, dan ISO 1600 - ISO 3200 untuk yang tertinggi. Sedangkan untuk kamera saku mulai dari ISO 50 hingga ke ISO 400. Deret angka ISO untuk kamera adalah ISO 100, 200, 400, 800, 1600, 3200, 6400. Sensitivitas sensor pada ISO 200 memiliki kemampuan mengumpulkan cahaya dua kali lipat dibanding ISO 100. Begitu juga dengan ISO 3200 yang memiliki kemampuan dua kali lipat dibanding ISO 1600, sehingga shutter speed juga lebih cepat dua kali lipat.

Berikut adalah pegaruh yang signifikan terhadap penggunaan ISO yang tinggi.
1. Durasi shutter speed
Meningkatkan ISO dapat mempercepat shutter speed. Untuk kondisi cahaya yang minim, gunakanlah ISO yang tinggi agar shutter speed menjadi cepat sehingga blur akibat getaran dapat ditiadakan.

2. Pencahayaan
Untuk shutter speed yang sama, ISO yang tinggi akan memberikan hasil foto yang lebih terang daripada hasil foto yang diberikan oleh ISO yang rendah. Hal ini dikarenakan ISO yang tinggi dapat lebih banyak mengumpulkan cahaya dibanding ISO yang rendah.


3. Bintik hitam pada hasil foto
Penggunaan ISO yang tinggi dapat menimbulkan bintik hitam pada hasil foto. Bintik hitam pada hasil foto disebut juga noise. Kemunculan noise pada hasil foto umumnya dianggap sebagai kerugian. Untuk resolusi yang sama, kamera dengan sensor yang kecil akan jauh menimbulkan noise di ISO yang tinggi daripada kamera dengan ukuran sensor yang besar. Maka dari itu, hindari menggunakan kamera dengan resolusi besar yang memiliki ukuran sensor yang kecil. Berikut adalah hasil foto dari tiga nilai ISO yang berbeda, dengan 100% crop.


Sekedar saran, gunakanlah ISO serendah-rendahnya bilamana mungkin. Hal ini bertujuan untuk menghindari timbulnya noise pada hasil foto yang terlihat mengganggu. Kendati demikian, gunakanlah ISO yang tinggi untuk kondisi pencahayaan yang minim untuk mempercepat shutter speed, mencegah timbulnya blur akibat getaran. Saat menggunakan ISO tinggi, gunakanlah format RAW agar noise dapat diminimalisir nantinya (menggunakan noise reduction pada Photoshop).

Pengetahuan Dasar Fotografi

Sesuai namanya, fotografi merupakan karya seni rupa yang memanfaatkan cahaya dan pengolahannya. Maka dari itu, kemampuan melihat dan mengelola banyaknya cahaya merupakan indikator utama kesuksesan dalam fotografi. Aspek utama untuk dapat memperoleh kombinasi cahaya untuk menghasilkan hasil foto yang optimal adalah ISO, aperture, dan shutter speed. Apabila ketiga aspek tersebut sudah dikuasai sepenuhnya, maka menghasilkan hasil foto yang menarik bukanlah perkara sulit.
Salah satu contoh hasil foto dengan pencahayaan yang pas :



Hasil foto yang baik dapat ditentukan dari kondisi pencahayaannya. Hasil foto yang baik memiliki pencahayaan yang pas. Pengaturan pada ISO, aperture, dan shutter speed berguna untuk mendapatkan pencahayaan yang pas. Pencahayaan yang berlebih disebut over-exposure sementara pencahayaan yang kurang disebut under-exposure.